Kamis, 26 Mei 2016

BAGAIMANAKAH PENDIDIKAN YANG BAIK


Membahas dunia pendidikan memang hal yang menarik apalagi di negara kita yang merupakan negara yang besar dan sangat majemuk. Terjadilah perbandingan di sana-sini dengan negara lain yang sudah dikategorikan negara maju sedang kita negara berkembang. Saya memahami bahwa pada dasarnya ini adalah suatu keinginan akan perubahan terhadap dunia pendidikan kita. Namun, kita juga harus lebih bijak memandang suatu kondisi.

Saya mengalami paradigm shift atas penjelasan dosen saya di Thailand ketika ada kelas presentasi mengenai health policy dimana kami harus membandingkan kebijakan di negara sendiri dengan salah satu negara. Seperti biasa, banyak hal juga kita yang tertinggal dengan negara lain. Yang menggugah saya adalah penjelasan beliau terkait Indonesia. Perkembangan Indonesia tidak akan bisa disamakan dengan negara lain seperti Eropa atau Amerika. Mengapa? Karena negara kita adalah negara kepulauan yang besar jadi untuk menghubungkan antar pulau untuk pemerataan pembangunan akan diperlukan usaha yang sangat besar. Bisa dibayangkan meaghubungkan lebih dari 17.000 pulau! Berbeda dengan negara lain yang mayoritas daratan, akan lebih melakukan pemerataannya. Baru tersadar luar biasanya pemikiran Habibie dangan N250 nya, namun sayang tidak berlanjut.

Satu lagi kondisi yang patut kita cermati adalah beragamnya suku bangsa dan budaya. Saya pikir ga terlalu ngefek karena dulu saya berpikiran orang Jawa juga ada yang kalem ada juga yang keras. Tapi pemikiran itu tergilas dengan kondisi ketika saya kuliah S1. Berteman dari Sabang sampai Merauke. Memang berbeda hehe....

So daripada sibuk membandingkan, memaki sana-sini, mari sibuk memikirkan solusi. Mari berkarya!

Nah menjadi pertanyaan pendidikan mana yang paling baik?

Banyak pendapat pakar pendidikan yang menyatakan tidak boleh belajar Calistung terlalu dini, atau sekolah terlalu dini, atau kurikulum kita terlalu sulit. Bukannya tidak setuju, tapi bagi saya yang pertama dan terutama adalah ENJOY! Selama anak suka melakukannya mengapa tidak? Keponakan saya, mulai sekolah TK sejak usia 3 tahun sebut saja Nita. Tiap hari dia memandang tetangga-tetangga yang berangkat sekolah. Mungkin juga karena kesalahan saya mengenalkan asyiknya di sekolah bisa bermain macam-macam. Nah dia ngotot pengen sekolah, akhirnya si ibu “menitipkan” Nita ke TK bersama kakaknya. Nah ketika teman-temannya naik kelas tahun depannya dia tetap ingin di kelas yang sama dengan temannya. Padahal seharusnya dia baru TK kecil. Dan ketika teman-temannya masuk SD dia pun ga mau tetap TK. Mosok ya dilarang. Alhasil si ibu harus melobi SD untuk mau menerimanya. Alhamdulillah boleh.... Ternyata Nita ini mempunyai bakat entrepreneurship. Sejak TB sudah senang berjualan es batu. Nah ketika dia bisa menulis di TK, langsung bisa promosi dengan menulis JUAL ES BATU hehe.... Jadi Calistung sangat bermanfaat bukan?

Banyak juga yang protes dengan kurikulum Indonesia yang terlalu sulit. Sekarang coba kita cermati kondisi dimana saat ini banyak juga siswa berprestasi juara olimpiade sains baik tingkat nasional maupun internasional. Saya ga kebayang susahnya materi yang dipelajari. Mereka harus belajar setingkat anak kuliahan. Namun selama mereka enjoy, mosok yo dilarang....

Hal yang ingin saya sampaikan disini adalah jangan menggeneralisir suatu kondisi untuk diaplikasikan pada suatu kondisi pula. Intinya bila ada yang tidak match ya jangan dipaksakan. Dalam hal apa pun. Itu yang membuat orang tidak bisa menikmati proses pendidikannya. Ini adalah dasar konsep Student Centered Learning bagaimana pendidik mencoba mendidik sesuai kondisi peserta didik. Dalam hal apapun! Keuangan, kondisi keluarga, karakter si bocah, dsb. Nah bisa terbayang kan kerja pendidik?

Konsep yang penting happy or enjoy itu juga penting bagi saya dalam menjalani pendidikan. Mungkin bagi banyak orang menganggap pendidikan itu susah atau bagi sebagian lagi merasa tersiksa dalam menjalani pendidikan. Ini karena mereka tidak bisa menemukan hal yang membuat bahagia selama proses. Masukan dosen yang berubah-ubah, atau kerja yang dianggap sia-sia karena tidak diterima oleh dosen.

Nah pada akhirnya BAHAGIA itu ada dalam hati kita. Untuk bisa enjoy selama pendidikan ya carilah  hal-hal yang bisa membuât enjoy selama pendidikan. Sewaktu kuliah S1, mata kuliah saya penuh dengan hafalan padahal itu adalah hal yang paling saya ga suka. Nah “pelarian” saya adalah ke kegiatan organisasi di kampus. Bisa dibayangkan bila saya tidak menemukan tempat pelarian, tambah stress hehe.. Selama kuliah S2, saya enjoy dengan padatnya jadwal kuliah dan mengajar, bolak balik Semarang-Jakarta tiap pekan. Entah kenapa saya senang sekali sharing dengan mahasiswa. Jadi tidak capek malah hilang capeknya. Pun ketika saya menjalani pendidikan saat ini, banyak hal yang saya lakukan selain mencintai topik penelitian saya.

Saya menjalani karir sebagai dosen juga dengan sepenuh hati karena saya enjoy dan happy. Walau banyak orang mengatakan DOSEN itu kerjane sak dos gajine sak sen. Mungkin karena passion mereka di materi. Dan prediksi saya, sebagian besar dari mereka tak akan bahagia karena kita tak akan pernah puas dengan materi kan? Namun bila kita bekerja dan menjadikan immateri sebagi passion kita, in syaa Allah kita bisa menjalaninya dengan enjoy. Saya berkarir sebagai pendidik sejak SD. Lho kok bisa? Karena dari dulu saya suka bermain sekolah-sekolahan hehe....

Menjawab pendidikan mana yang baik akan sama dengan menjawab pertanyaan mana yang lebih baik menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir, atau pekerjaan mana yang baik untuk kita. So, ga bingung kan pendidikan mana yang terbaik?

2 komentar:

  1. Melakukan pekerjaan dengan kebahagian untuk mendapatkan kebahagian membuat tentram hati. Setuju deh.

    Kekhawatiran akan adanya rasa jenuh tentu dilihat proses. Tapi protes nih kok menyebut nama cuma sebagai sebutan saja, memangnya nama sebenarnya Juliana?? wkwkwk....Semangat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kali senang ya ga jenuh.... Yang diperlukan adalah orang tua yang mendukung anak bila positif. Jangan terlalu khawatir sana sini...

      Hapus