Sedang heboh dengan kasus mahasiswa UMSU yang membunuh dosennya karena dosen yang dianggap killer. Umumnya masyakarat khususnya pendidik akan
berbondong-bondong untuk menghakimi si pelaku. Hal ini bisa dimaklumi karena
memang merupakan pelanggaran norma dan hukum yang sangat parah. Apalagi terjadi
di institusi berbasis agama dan pelaku merupakan calon pendidik pula. Namun
bila kita melihat akar permasalahan, hal ini menjadi bahan refleksi yang sangat
baik untuk para pendidik yang saat ini dituntut menggunakan metode Student
Centered Learning (SCL) dalam mendidik sesuai dengan kondisi dan karakter
peserta didik. Kreativitas pendidik akan sangat teruji karena harus menyikapi
beragam karakter dan kondisi peserta didik tersebut untuk mencapai tujuan
pendidikan yang sama.
Saat diajukan kondisi ini, para pendidik pun akan
berbondong-bondong mengeluhkan kondisinya yang harus melaksanakan Tri Dharma
Perguruan Tinggi apalagi bila menjabat struktural. Mungkin waktu 24 jam tak
akan cukup sehingga bisa jadi mahasiswa yang dikorbankan. Apabila hal ini masih
terjadi berarti metode yang digunakan masih Teacher Centered Learning (TCL).
Jadi teringat petuah Aa Gym tentang orang tua yang mengeluhkan kondisinya saat
anaknya rewel. “Nak, mamah ini udah capek kerja seharian bekerja dan ngurusin
rumah dan kamu. Kamu jangan rewel dong.” Bila orang tua meminta dipahami
anaknya, terus siapa yang dituntut lebih dewasa di sini?
Ada pula yang beranggapan yang penting adalah hakikat dari perlakuannya. Misalnya menegur, yang pentingkan pendidik menegur untuk kebaikan peserta didik. Kita perlu mengingat bahwa niat baik dengan cara yang salah tidak bisa dibenarkan. Bagaimana kita memberikan orang setumpuk uang namun dengan cara dilemparkan ke wajahnya? Atau para pencuri demi memenuhi kebutuhan keluarganya atau anggota keluarga yang sakit. Bisakah dibenarkan?
Layaknya orang tua yang ingin memberikan pendidikan
terbaik buat putra-putrinya berdasarkan karakteristik masing-masing. Pertanyaan
mendasar, sudahkah kita memperlakukan peserta didik seperti anak sendiri?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menjawab bagaimana perlakuan kita terhadap
peserta didik kita.
Kita juga perlu melihat kasus ini dengan melihat karakter pelaku yang sudah mengikuti pendidikan selama 6 semester. Bukan masa yang singkat untuk membentuk pribadi para ababil ini. Hal ini berarti lingkungan pendidikan di institusi tersebut juga berperan membentuk karakter pelaku. Jadi institusi pendidikan juga perlu untuk berefleksi dan berbenah apabila ditemukan sesuatu yg perlu dibenahi.
Tentang dosen killer, saya teringat ada curhatan seorang alumni yang membawa rasa sakit hatinya hingga lulus dan bekerja. Kondisi ini juga menjadikan refleksi buat para pendidik untuk memberikan cara terbaik agar alumni bisa membawa hal-hal yang baik setelah lulus dan menularkan kepada lingkungannya dalam baktinya. Aaaah... jika kita ingin saling menyalahkan tak ada ujungnya. Jadi kita ingin mencari kebenaran atau pembenaran?
Bukannya ingin memberikan pembelaan kepada si pelaku, namun ajakan untuk mengambil hikmah dari kejadian yang ada, menghindari dari perilaku penghakiman, dan mencari solusi atas masalah yang ada.
Mari menunjuk diri sendiri....
Tentang dosen killer, saya teringat ada curhatan seorang alumni yang membawa rasa sakit hatinya hingga lulus dan bekerja. Kondisi ini juga menjadikan refleksi buat para pendidik untuk memberikan cara terbaik agar alumni bisa membawa hal-hal yang baik setelah lulus dan menularkan kepada lingkungannya dalam baktinya. Aaaah... jika kita ingin saling menyalahkan tak ada ujungnya. Jadi kita ingin mencari kebenaran atau pembenaran?
Bukannya ingin memberikan pembelaan kepada si pelaku, namun ajakan untuk mengambil hikmah dari kejadian yang ada, menghindari dari perilaku penghakiman, dan mencari solusi atas masalah yang ada.
Mari menunjuk diri sendiri....
#MendidikDenganHati #BekerjaDenganCinta #Refleksi
#Paradigma #Correctional #Iqro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar